LAPORAN PENELITIANSEHARI BERSAMA DENGAN MASYARAKAT BADUY DALAM
DISUSUN
OLEH:
Nama
: Tendes hartawati laia
Nim
: 15120042
Program study
: Ilmu komunikasi
Ujian : Komunikasi lintas budaya
Dosen : Ahmad Hannan, M.Ikom
STISIP
WIDURI
JAKARTA
2018
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa penulis mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya. Penulis juga mengucapkan banyak
terimaksih kepada teman-teman dan terlebih dosen mata kuliah komunikasi
lintas budaya pak Ahmad Hannan, M.Ikom yang telah
dengan baik mengajari dan membimbing penulis dari memberi teori hingga praktek.
Dan
harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca tentang suku baduy yang merupakan bagian dari beberapa suku
di indonesia, Untuk ke depannya dan dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman kami, penulis yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini,
baik dari segi penulisan, tataletak editing dan penyusunan kalimat, Oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini kedepan.
DAFTAR
ISI
Cover
.............................................................................................................................I
Kata pengantar
..............................................................................................................II
Daftar
isi .......................................................................................................................III
Abstrak
.........................................................................................................................IV
Bab
1: Pendahuluan .........................................................................................................
a. Latar
belakang.......................................................................................................
b. Rumusan
masalah .................................................................................................
c. Tujuan
penelitian
...................................................................................................
d. Pentingnya
penelitian ............................................................................................
e. Sumber
data
...........................................................................................................
Bab
2: Pembahasan ............................................................................................................
a. Apa
itu suku baduy?
..................................................................................
b. Bagaimana
kehidupan suku baduy?............................................................
c. Apakah
mereka mempunyai keyakinan atau agama?..................................
d. Bagaimana
pemikiran mereka tentang pendidikan?...................................
e. Bagaimana
cara mereka bertahan hidup?.....................................................
f. Dokumentasi
penulis
..................................................................................
g. Adakah
hukuman bagi mereka yang melanggar adat istiadat mereka?.......
h. Teori
apa yang penulis terapkan dalam fenomena kasus ini?.......................
Bab 3 : Penutup
....................................................................................................................
a.
Kesimpulan
...............................................................................................................
b.
Saran
.........................................................................................................................
Daftar pustaka
.......................................................................................................................
MENGENAL
SUKU BADUY
(Judul)
11. BADUY (umum)
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat sub-etnis sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Lokasi Suku Baduy tepatnya berada di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung Populasi mereka
sekitar 6.000 hingga 9.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang
menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki
keyakinan tabu untuk
difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Wilayah suku baduy sendiri
terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy
dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga adat nenek moyangnya
sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan
masyarakat sekitarnya.
2.
Etimologi
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang
diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari
sebutan para peneliti Belanda
yang agaknya mempersamakan mereka dengan
kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di
bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri
sebagai urang Kanekesatau "orang Kanekes" sesuai dengan
nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka
seperti Urang Cibeo.
3. Teori komunikasi lintas budaya
Dalam kasus ini saya sebagai penulis menggunakan teori
Budaya
yang di kemukkan oleh Selo sumardjan dan Solaeman
Soemardi. Dimana menurut mereka Budaya dapat pula diartikan sebagai cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama sebagai suatu warisan yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Selo sumardjan dan Solaeman
Soemardi mengatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya dan cipta
masyarakat. Sehingga dalam hal ini kbudayaan, manusia dan masyarakat adalah hal
yang tak terpisahkan.
Sama seperti fenomena komunikasi budaya suku baduy yang menjunjung tinggi adat
istiadat kebudayaannya.
BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perkembangan teknologi informasi saat ini sudah sangat
pesat dantelah merambah ke berbagai segi
kehidupan manusia. Indonesia terkenal memiliki keanekaragaman
kebudayaan. Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang
rumit termsuk sistem agama dan politik,
adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian dan bangunan, dan karya seni. Bahasa
sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya di wariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukkan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Namun ada beberapa kebudayan suku
pendalaman yang jarang dipiblikasikan. Salah satunya kebudayaaan suku baduy
yang berada di Banten. Suku baduy merupakan salah satu suku terasing.
Masyarakat suku baduy sangat berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang sudah
ada. Masyarakat baduy tinggal di wilayah Desa kanekes, Kecamatan seuwidamar, Kabupaten Sebak provinsi Banten.
Kelompok masyarakat adat sunda tersebut terdiri dari suku baduy luar dan suku
baduy dalam. Keduanya sama-sama tinggal didesa kanekes kecamatan seuwidamar
provinsi Banten.
B.
Rumusan masalah
1) Apa
itu suku baduy?
2) Bagaimana
kehidupan suku baduy?
3) Apakah
mereka mempunyai keyakinan atau agama?
4) Bagaimana
pemikiran mereka tentang pendidikan?
5) Bagaimana
cara mereka bertahan hidup?
6) Adakah
hukuman bagi mereka yang melanggar adat istiadat mereka?
7) Teori
apa yang penulis terapkan dalam fenomena kasus ini?
C.
Tujuan penelitian
Tujuan Dalam laporan ini Adalah :
1.
Untuk mengetahui
bagaimana sitem kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat suku baduy.
2.
Untuk bagaimana
pelaksanaan keyakinan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat suku baduy.
D. Pentingnya penelitian
Petingnya penelitian ini
sebagai tahap pemahaman terhadap salah satu poin penting dalam suatu kebudayaan
yaitu kepercayaan suatu masyarakat yang kali ini adalah mengenai seluk beluk
kepecayaan/ keyakinan pada masyarakat suku baduy.
E. Sumber Data
Pengumpulan sumber-sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
yaitu dengan cara mewawancarai sebagian masyarakat baduy yang memang bisa
menjadi sumber mediator penulis dan sekaligus berkunjung dan melihat langsung
di kampung cibeo dalam mengumpulkan informasi-informasi tentang keadaan
masyarakat suku baduy itu sendiri. Meskipun dalam mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan begitu sulit untuk penulis dapatkan karena berbenturan dengan
peraturan yang memang dibatasi oleh pantrangan ( Larangan-larangan ).
BAB
2
PEMBAHASAN
1.
Mengenal Suku
Baduy
Masyarakat Suku baduy
di Banten termasuk salah satu suku
yang menerapkan isolasi dari dunia luar itulah salah satu keunikan Suku Baduy. Sehingga wajar mereka sangat menjaga betul ‘pikukuh’
atau ajaran mereka, entah berupa kepercayaan dan kebudayaan. Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat
Istiadatnya dan sangat menjaga alam sekitar. Mereka sadar bahwa mereka hidup
dari alam dan berdampingan dengan alam, sehingga mereka harus memiliki
kearifannya terhadap alam. Banyak ajaran Suku Baduy berupa larangan atau
anjuran yang sebenarnya di khususkan untuk menjaga agar alam.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
v
Suku Baduy Dalam
Terletak di kaki pegunungan kendeng
desa Kanekes, kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak- Rangkasbitung
Banten. Desa ini merupakan jalur terakhir transportasi umum. Setelah tiba di
Baduy luar, pertama kali kita wajib lapor ke pimpinan setempat yang di panggil Jaro Pulung,
beliau bertugas sebagai penghubung antara suku baduy dengan budaya luar. Dari
sini kita masih harus melanjutkan perjalanan agar tiba di suku baduy dalam yaitu antara 3-4 jam.
Wilayah Baduy terbagi ke dalam tiga yaitu : Cikeusik,
Cibeo, Cikertawana. Menurut beberapa sumber, nama Baduy berasal dari nama
sungai yaitu Cibaduy. Dalam versi yang berbeda, nama Baduy adalah panggilan
para peneliti belanda yang mengidentikan mereka dengan Baduy Arab, dimana kehidupannya
suka berpindah-pindah. Orang baduy sebetulnya lebih nyaman di panggilurang kanekes (orang
kanekes).
Populasi masyarakat baduy sampai hari ini
di perkirakan berjumlah 6.000 – 9.000 orang. Berbeda dengan baduy dalam, suku
baduy luar atau yang sering di panggil dengan Urang Panamping sudah
menerima budaya luar. Suku baduy luar berpakain serba hitam serta rumah mereka
bertumpu pada batu (tapi itu dulu sekarang sudah tidak lagi). Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan
pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih
memiliki budaya yang sangat asli.Suku baduy dalam tidak mengizinkan
orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing
(WNA) untuk masuk. Jadi kalau sobat-sobat punya teman bule, jangan di ajak ke
baduy, kasihan mereka nanti harus nunggu di luar. Kemudian suku
baduy dalam juga tidak mengizinkan
penggunaan kamera.
Suku
baduy dalam di kenal sangat taat
mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai
pakaian yang berwarna putih dan hitam dengan ikat kepala putih serta membawa golok.
Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah.
Uniknya, semua yang di pakai suku
baduy dalam adalah
hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas
membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu,
setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas
kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang
menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp da TV.
Suku baduy dalam memiliki kepercayaan yang di kenal Sunda Wiwitan (sunda: berasal dari suku sunda, Wiwitan : Asli). Kepercayaan ini memuja arwah nenek moyang (animisme) yang pada selanjutnya kepercayaan mereka mendapat pengaruh dari Budha dan Hindu. Dan kalau melihat sejarah, kepercayaan suku baduy dalam saat ini adalah refleksi kepercayaan masyarakat sunda sebelum masuk agama islam. Sampai saat ini, suku baduy dalam tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara sunda). Anak-anak suku baduy dalam pun tidak bersekolah, kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka inilah cara mereka melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan Soeharto sampai sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar mengizinkan pembangunan sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak cerita atau sejarah mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja.
Selain itu,suku baduy dalam juga tidak mengenal perkakas seperti yang kita tahu misal gergaji, palu, paku. Jadi untuk membuat rumah, dibuat dengan menggunakan bahan dan alat-alat tradisional. Di ambil dari hutan dan di kerjakan secara gotong royong. Seperti jembatan yang di buat dengan bahan bambu, di ikat dengan tali dan memakain pondasi dari pohon sekitar. Terlebih lagi untuk barang-barang elektronik : Hp, Tv, Laptop atau Komputer. Suku baduy menerima dua kepemimpinan, pertama dari pemerintah, biasanya di pimpin olehJaro Pamarentah. Dan pemimpin dari lingkungan mereka sendiri yang di panggil Pu’un. Pu’un adalah pemimpin adat tertinggi di baduy dan terbagi di tiga kampung suku baduy dalam. Jabatan pu’un lebih bersifat turun temurun namun kerabat atau anggota keluarga lainpun bisa menjadi Pu’un. Serta tidak di berikan jangka waktu pasti, tergantung kemampuan Pu’un tersebut memangku jabatan.
Sungai menjadi sumber dan urat nadi kehidupan sehari-hari mereka. Dari mulai mandi, mencuci, MCK semuanya di lakukan di sungai. Teman-teman yang berniat berkunjung ke suku baduy dalam, persiapkan makanan seperti beras, mie instant, sarden dan lain-lain. Nanti para ibu suku baduy yang akan membantu memasaknya. Salah satu kebiasaan yang harus di patuhi masyarakat suku baduy dalam ialah jam tidur maksimal jam 21:00.Biasanya kalau sesuatu terlampau berbeda maka akan menarik perhatian banyak orang. Karena menjadi hal yang unik. Dan di sanalah titik menariknya, terbukti ratusan orang berkunjung dalam satu rombongan ke suku baduy dalam.
v
Suku Baduy Luar
Baduy luar merupakan orang-orang
yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya
warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada
dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama,
tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.
Ciri-ciri khas masyarakat:
a)
Mereka telah
mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap
merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
b)
Proses
Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy
Dalam. (BL)
c)
Menggunakan
pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti
kaos oblong dan celana jeans. (BL)
d)
Kelompok
masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal
di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam,
seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain
sebagainya. (BL)
· Kepercayaan masyarakat
Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan)
Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau
perubahan sesedikit mungkin: Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun
sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada
Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten
Lebak. Di bidang pertanian,
penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam
sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh.
.
v Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan
penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak
mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak
mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena
pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan
pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga
hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk
mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah
mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya,
mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
v Asal Usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes
mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara
yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi
Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda
dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara
sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup
minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang
sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar
Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat
pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan
dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu,
dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman.
Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk
Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga
dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng
tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendengtersebut. Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan
mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy
sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun
1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar. Orang
Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-oraang
pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan
Djatisunda orang Baduy merupakan
penduduk setempat yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh
raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan
leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah
ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan
(wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun
diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala
adalah Rakeyan Darmasiksa.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika
Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di
tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para
pengikutnya. Di akhir cerita, dengan ‘wangsit siliwangi’ yang diterima sang
prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk
tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak
(baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di
daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang
mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu
siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi
perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang
yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu
laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas
permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
v Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar
pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan
selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa
perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang
disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh
disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari
diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut
adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara
berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat
terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan.
Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya,
sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan
dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang
mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes
adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral.
Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun
sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli.
Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat
terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca
Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada
saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang
jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada
tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya,
apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda
kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan
masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
v Kelompok masyarakat
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan
orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan
cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan
secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda
lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu,panamping,
dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang
dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy
Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga
kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya
berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka
dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing. Kanekes Dalam adalah
bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga
Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam
antara lain:
a) Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasi
b) Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
c) Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali
rumah sang Pu'unatau ketua adat)
d) Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan
dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang
dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung
yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri
khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
a) Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
b) Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
c) Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan
berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar.
v Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional,
yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat
istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau
diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara
nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat
Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
v Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes
adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan
tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak,
melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
v Mata pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun,
maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan.
v Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat
bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang
terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang
secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak
lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar
berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah,
dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan,
madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di
pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar
Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah
Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan,
biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung
dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap
satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang
berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di
wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun,
wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan
asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak,
orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan
syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil
yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah
datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam
kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi
kebutuhan hidup.
v Baduy sekarang
Baduy memang terkenal dengan adatnya yang kuat yang mengisolasi diri dari
dunia luar dan canggihnya teknoklogi zaman sekarang, banyak orang yang beranggapan
mereka sangat menutup diri dan dulu saya percaya itu, karena saya hanya melihat
dari tulisan-tulisan orang di internet dan blog orang, sehingga presepsi saya
tentang suku Baduy sangat kuat bahwa mereka tidak mengalami yang namanya budaya
akulturasi dan tetap mempertahankan budayanya.
Tetapi semua yang saya baca dan presepsi yang sudah terbentuk sebelumnya
terpatahkan dan saya kaget melihat kenyataan bahwa tidak semua orang dapat
bertahan dengan pemikiran dan aturan yang di buat. Kenapa saya berkata
demikian? Karena saat saya berkujung disana saya menemukkan bahwa orang Baduy
dalam itu yang mengatakan bahwa mereka tabu untuk difoto ternyata terbatahkan
saat saya mengajak mereka berfoto dan mereka mau, bahkan mereka dapat
menggunakan HP untuk menelfon dan berhubungan dengan orang lain, padahal
sebelumnya orang menulis bahwa tabu bagi mereka untuk difoto mau diluar maupun
di dalam kampung sendiri, ternyata mereka sudah mengalami akulturasi meski
tidak diterapkan untuk kampungnya tetapi sebagian orang sudah melakukannya.
v Dokumentasi penulis
Doc.rumah baduy luar.tendeslaia
gambar rumah dari samping
foto bareng orang baduy dalam tapi
berfoto di perbatasan baduy dalam dengan baduy luar.
Gambar seorang ibu sedang menutu kedelai (menumbuk kedelai) biasa di
lakukan untuk menumbuk padi beramai-ramai.
jembatan perbatasan baduy luar dengan baduy dalam.
BAB
3
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat sub-etnis sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Lokasi Suku Baduy tepatnya berada di kaki pegunungan
Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung Populasi mereka
sekitar 6.000 hingga 9.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang
menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki
keyakinan tabu untuk
difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Wilayah suku baduy sendiri
terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy
dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga adat nenek moyangnya
sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan
masyarakat sekitarnya.
Dalam kasus ini saya sebagai penulis menggunakan teori
Budaya
yang di kemukkan oleh Selo sumardjan dan Solaeman
Soemardi. Dimana menurut mereka Budaya dapat pula diartikan sebagai cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama sebagai suatu warisan yang diturunkan dari
generasi ke generasi. Selo sumardjan dan Solaeman
Soemardi mengatakan bahwa kebudayaan adalah sarana hasil karya dan cipta
masyarakat. Sehingga dalam hal ini kbudayaan, manusia dan masyarakat adalah hal
yang tak terpisahkan.
Sama seperti fenomena komunikasi budaya suku baduy yang menjunjung tinggi adat
istiadat kebudayaannya. INTINYA SEKARANG ORANG BADUY DALAM BISA DI FOTO TETAPI
FOTONYA HARUS DI LUAR KAMPUNGNYA.
2.
SARAN
Untuk
memahami dan mengetahui lebih dalam tentang baduy luar dan dalam ada baiknya
kalau harus mengunjunginya langsung dan berbaur dengan mereka, seperti yang
telah saya lakukan jadi tidak hanya sebatas membaca dan melihat internet saja
tetapi langsung datang dan melihat sendiri, karena pengalaman lebih berharga
dari pada hanya sekedar mendengar.
Daftar
pustaka
Rasakan sensasi bertaruh poker dengan jackpot terbesar serta proses transaksi yang teraman hanya bersama Pokervita. Cukup dengan bermodalkan 10RB saja, anda berkesempatan meraih jutaan rupiah dalam waktu singkat!!
BalasHapusMau tunggu sampai kapan kesempatan besar ini? Ayo daftarkan diri anda sekarang juga dengan huhungi kami melalui kontak dibawah ini.
WA: 0812-2222-996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker